LOADING

Lihat Berita

Permukiman Kumuh Perkotaan Tak Sekadar Pembangunan Fisik

By  / Rabu, 7 Agustus 2019

View (39)

Image

Pembangunan permukiman kumuh perkotaan sebaiknya tidak sekadar pembangunan fisik, tapi juga diikuti dengan aturan penataan kawasan yang sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Koefisien Dasar Bangunan (KDB), Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Sertifikat Laik Fungsi (SLF), Ruang Terbuka Hijau (RTH) minimal 30%. “Mudah-mudahan hal ini semua masuk juga dalam perencanaan kita, sehingga menjadi model yang sempurna,” ujar Direktur Pengembangan Kawasan Permukiman, Ditjen Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Didiet Arief Akhdiat dalam kegiatan Dialog Kebijakan dan Pengembangan Model Penanganan Permukiman Kumuh Perkotaan di di Gedung Tawang Arum, Kompleks Balaikota Surakarta, Kota Surakarta, pada Rabu (7/8).

Dialog yang diinisiasi Kementerian PPN/Bappenas ini dilakukan guna membangun kesamaan pemahaman terhadap isu dan kebutuhan penanganan permukiman kumuh serta kesepakatan terhadap kolaborasi program/kegiatan ke depan. Kegiatan tersebut dihadiri oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Kota Surakarta Ahmad Yani, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) se-Kota Surakarta, serta Direktur Perkotaan, Perumahan, dan Permukiman, Bappenas; Direktur Pengembangan Kawasan Permukiman, Kementerian PUPR; Direktur Konsolidasi Tanah, Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Selain itu, tampak hadir pula perwakilan dari Kementerian PUPR, perwakilan dari Kementerian Dalam Negeri, perwakilan dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, perwakilan dari United States Agency for International Development (USAID) dan Bank Dunia, perwakilan dari Program Indonesia Urban Water Sanitation and Hygiene (IUWASH) PLUS, serta Tim Program Kotaku.

Kota Surakarta, sebagai salah satu lokasi dampingan Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku), menjadi “laboratorium” bagi model perencanaan pembangunan ini. Menurut Sekda Kota Surakarta Ahmad Yani, penataan permukiman kumuh ke depan, khususnya Kawasan Semanggi, akan menjadi pusat jajanan kuliner di Kota Solo.

Bicara Kawasan Semanggi, Direktur Perkotaan, Perumahan, dan Permukiman, Bappenas Tri Dewi Virgiyanti menambahkan, Kawasan Semanggi merupakan salah satu dari banyak kawasan serupa di perkotaan se-Indonesia. Namun, Pemkot Surakarta berani mengambil langkah nyata bagaimana agar pemkot lainnya bisa mereplikasi.

Tak hanya dialog, kegiatan dilanjutkan dengan kunjungan ke lokasi dampingan Program Kotaku di Kelurahan Semanggi. Kunjungan lapangan diawali di RW 7 Kelurahan Semanggi yang terletak di bantaran sungai. Peserta diajak melihat langsung kondisi lingkungan dan sosial masyarakat Semanggi. Sebenarnya RW 7 adalah wilayah permukiman ilegal, dimana rumah didirikan di atas tanah milik Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS).

Di tempat ini telah dibangun drainase dari Program Kotaku, serta para pad oleh BBWS. Warga terdampak proyek dipindahkan ke hunian sementara yang telah disiapkan. Kunjungan berikutnya ke lokasi RW 23 untuk melihat penyediaan air bersih yang berkolaborasi dengan Program Sanitasi Berbasis Masyarakat (Sanimas) dan IUWASH Plus. Kunjungan diakhiri di lokasi Rumah Instant Sederhana Sehat (RISHA).

Usai mengunjungi Kawasan Semanggi, kegiatan dilanjutkan dengan membahas paparan serta temuan hasil kunjungan, serta diskusi untuk merumuskan rekomendasi dan rencana tindak lanjut dalam rangka penangangan kumuh melalui model-model kolaborasi. Dalam diskusi tersebut disepakati, perlu tindak lanjut untuk memformulasikan kebijakan terkait penangan kumuh, sehingga kebijakan yang dihasilkan juga bisa diterapkan di wilayah lain. Untuk saat ini penanganan kumuh masih sangat fleksibel. Namun, ke depan harus lebih tegas dan mengutamakan pencegahan munculnya kawasan kumuh yang baru. Selain itu, penguatan peran Pokja Nasional diharapkan dalam rangka percepatan penanganan kawasan kumuh Semanggi.

Share :