LOADING

Lihat Berita

Mengurai Harapan Setahun Pascabencana Kota Palu

By  / Jumat, 18 Oktober 2019

View (70)

Image

Kota Palu 28 September 2019, lepas shalat Isya, ratusan warga Petobo duduk takzim sembari berdzikir di lokasi Hunian Sementara, salah satu lokasi para penyintas terbesar di Kota Palu. Suharyadi, bagian dari warga Petobo yang berdoa dan berdzikir, matanya memerah, sesekali ia terisak, ia mengenang rumahnya tergulung oleh gelombang tanah yang mencair, populer dengan sebutan likuifaksi, jelang magrib setahun lalu. Bencana maha dahsyat itu menewaskan 4.845 warga yang bermukim di Kota Palu, Sigi dan Donggala.

Demikian halnya warga di Kelurahan Balaroa, salah satu lokasi likuifaksi, juga menggelar doa dan dzikir. Sementara warga Kota Palu lainnya duduk takzim di pantai Kelurahan Besusu Barat sembari berzikir di lokasi yang dilibas oleh tsunami tak jauh dari  Jembatan Palu Empat yang ikonik  itu, yang kini roboh oleh getaran gempa maha dasyat 7,4 SR dan libasan gelombang tsunami di Teluk Palu

Tak jauh dari Jembatan Palu Empat, Mustakim, lelaki paruh baya dari Kelurahan Lere Kota Palu, berdiri mengambil jarak  dari warga yang berdzikir diujung muara sungai Palu pagi itu 28 September 2019, matanya nanar, ia tak kuasa menahan kerisauannya, tawaran untuk berpindah di lokasi Hunian Tetap (HUNTAP) di belakang Kampus Universitas Tadulako bakal merubah gaya hidupnya, dari masyarakat nelayan di pantai  menjadi komunitas warga yang hidup diperbukitan di Kelurahan Tondo. Problem livelihood adalah satu soal dari ratusan masalah pasca bencana di Kota Palu.

Hasludin lain lagi kisahnya, dulunya ia adalah warga Kelurahan Lere Kota Palu, kini telah setahun hidup di tenda para penyintas di halaman Masjid Agung Kota Palu karena rumahnya hancur dilibas gelombang tsunami setahun lalu. Hasludin berkisah, setahun pasca bencana, pasokan sembako yang ia terima selama ini makin menipis, solusinya  terpaksa memulung botol-botol plastik bekas yang dibuang begitu saja oleh para pelanggan warung-warung kaki lima di sekitar masjid Agung Palu dan dijual kembali untuk menyambung hidupnya. Telah setahun Asludin hidup di shelter, tapi sampai hari ini belum mendapat kepastian apakah ia akan direlokasi ke Huntara atau Huntap.

Bukan hanya masyarakat lapis terbawah yang merasakan perubahan livelihood, tapi juga dirasakan oleh Aditya seorang pengusaha developer, namun pasca bencana setahun lalu hidupnya berubah. Saat ini Aditya merasa tak berdaya dan terpuruk karena tak bisa lagi mengembangkan usaha perumahannya, enam bulan pasca bencana kata Aditya harga material bahan bangunan sangat mahal di Kota Palu.

Dalam kalkulasi Aditya, biaya produksi satu unit rumah  tipe 36 kalau dijual harganya tidak menutupi dari biaya produksi karena standar harga jual ditentukan oleh pemerintah. Sementara fasilitas bantuan bank juga sulit diakses. Apalagi tak ada bantuan pemerintah untuk kegiatan skala makro, yang diberikan hanya penundaan kredit selama dua tahun, tapi argo bunga bank tetap berjalan. Kini Aditya  putar haluan mencari nafkah, menjual barang kosmetik secara online.  

Ketika berbincang dengan Aditya, ia terkenang rumahnya di Jalan Kana Kelurahan  Baloroa yang  hancur oleh likuifaksi. Bukan hanya rumah yang hancur tapi ia juga kehilangan anak semata wayang yang baru berusia tiga tahun pada setahun lalu. 

Apa sesungguhnya strategi pemerintah Kota Palu dalam mengantisipasi sengkarut masalah setahun pasca bencana di Kota Palu? Kepala Bidang Data dan Informasi Bappeda Kota Palu, Ibnu Mundzir, yang dihubungi secara online menjelaskan, Pemerintah Kota saat ini telah menyusun rencana kerja rehabilitasi dan rekonstruksi  yang dibagi ke dalam lima  sektor,  yaitu pemukiman, infrastruktur publik, ekonomi produktif, sosial dan lintas sektor. Pemerintah Kota Palu, ujar Ibnu, juga fokus pada  pembenahan soft structure, seperti  perbaikan RTRW dan RPJMD yang berbasis mitigasi bencana, ujar Ibnu yang juga merupakan alumni Magister Perencanaan Kota dan Daerah, Fakultas Teknik UGM (2012) dan belum lama ini mengikuti Training Reconstruction and Rehabilitation After Disasters, Tokyo, agar warga masyarakat tidak mengalami bencana yang sama. Kata Ibnu, tanggung jawab pemerintah adalah membuat warga jadi aman. Oleh karena itu pelarangan untuk membangun di zona merah adalah demi keamanan dan kebaikan masyarakat itu sendiri.

Gagasan Pemerintah Kota Palu ini sedang dinanti oleh warga Kota yang mulai gelisah setahun pasca bencana, namun Ibnu Munzir mengatakan, sejumlah masalah itu datanya sementara berproses dan butuh waktu, apalagi  banyak ditemukan  data palsu, sehingga perlu validasi dan verifikasi lebih lanjut. “Oleh karena itu, dibuat aturan agar warga yang menerima Huntap tidak dibolehkan menjual unit Huntap kepada orang lain untuk mencegah orang-orang menyalahgunakan bantuan” ujar Ibnu dari ujung telepon.

Bagaimana dengan program Kota Tanpa Kumuh setahun pasca bencana? saat ini Tim Fasilitator Kotaku yang bekerja di Kota Palu telah merampungkan survey teknis dan penyusunan DED melalui program CERC-NSUP. Hasil identifikasi fasilitator KOTAKU untuk kegiatan CERC-NSUP di tiga puluh kelurahan di Kota Palu umumnya meminta pembangunan infrastruktur penyediaan air bersih karena pasca bencana sejumlah infrastruktur air bersih menjadi bermasalah di Kota Palu. Demikian halnya dengan persoalan sanitasi, jalan lingkungan dan draniase menjadi masalah di Kota Palu. Mimpi air bersih warga Kota Palu ini diharapkan terjawab pada kegiatan  program CERC-NSUP. (Tasrief Siera)

Share :